Contoh Cerpen Tentang Pendidikan & Keluarga dalam Bahasa Indonesia
Contoh Cerpen Tentang Pendidikan & Keluarga dalam Bahasa Indonesia – Berikut ini, terdapat sebuah contoh cerpen tentang kisah pendidikan seorang anak.
Suatu hari ibu sakit. Sehingga ibu tidak bisa membantu ayah mencari nafkah. Hanya ayah yang mendapatkan uang. Aku sudah tidak bayar uang spp selama 3 bulan karena untuk membayar spp satu bulan saja ayah tidak punya uang. Ayah harus membeli obat ibu juga makan sehari-hari. Aku tidak pernah membeli buku. Semua pelajaran kucatat dalam buku tulis yang kubuat dari bekas kalender atau kertas-kertas yang tersisa dan masih bisa digunakan dari tempat pembuangan akhir dekat rumah. Kadang-kadang juga aku merangkum buku pelajaran teman sebangku di waktu istirahat. Aku tidak pernah pergi ke kantin karena aku tidak punya uang untuk jajan. Kadang kala teman sebangku ku berbaik hati membagi makanannya denganku.
Bulan-bulan itu tampak sulit bagi keluarga kami. Ayah tampaknya sedang sedih belakangan ini. Akhirnya, aku bertekad untuk membantu ayah mendapatkan uang. Aku tidak bilang ayah jika aku memulung sepulang sekolah. Karena jika ayah tahu, aku bisa dimarahi. Begitu hebatnya ayahku. Meski kami miskin, ia tidak pernah menyuruh anakanya bekerja. Kata ayah, tugasku hanya belajar dengan sebaik-baiknya sehingga kelak bisa sukses dan tidak miskin. Hasil memulung yang kudapatkan aku setorkan kepada pengumpul dan aku bisa mendapatkan uang 20 ribu setiap harinya.
Ayah tidak curiga karena aku bilang kepadanya bahwa aku mengikuti pelajaran tambahan di sekolah hingga petang. Aku selalu sampai di rumah pukul 07.00 malam. Lalu kembali belajar mengulang pelajaran. Aku juga sangat senang karena ibuku sudah kembali sehat. Uang yang kudapat dari memulung kutabung, sehingga akhir bulan aku bisa melunasi spp ku yang sudah tidak dibayar selama 4 bulan, tambahan juga aku bisa membeli buku pelajaran di koperasi sekolah. Ayahku sempat heran mengapa aku bisa melunasi spp dan membeli buku. Ia mengira ada donatur sekolah yang berbaik hati membantuku. Kemudian aku jelaskan baik-baik kepada ayah. Ayah sempat kesal karena aku berbohong, namun di sisi lain ia juga bangga akan kerja kerasku. Sejak saat itu, ayah juga turut memulung bersamaku.
Selama bertahun-tahun ayahku dan aku memulung untuk kehidupan kami juga sekolahku. Kini aku sudah menyelesaikan studi strata 1. Aku sudah menjadi sarjana. Kini aku mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas terkemuka di Indonesia untuk melanjutkan studi S2 di bidang bisnis dan manajemen. Aku juga berhasil mengikuti pertukaran pelajar dan konferensi pemuda berbasis kepemimpinan di luar negeri. Seandainya saja ayah masih hidup. Tentu ia akan menangis haru melihat pencapaianku. Ya, ayah meninggal tidak lama setelah aku wisuda S1. Beliau terkena penyakit paru-paru basah. Kini aku dan ibu hanya berdua. Kami pindah dari kawasan tempat pembuangan akhir. Aku dan ibu menyewa rumah kecil di dekat kampus. Ibu yang suka memasak akhirnya berjualan kue di dekat kampus. Hingga aku menempuh studi S2, aku tetap memulung di sore hari dan membuka usaha kecil-kecilan lain bersama teman-temanku. Aku juga punya komunitas rumah yatim piatu dimana aku dan teman-teman mengajar dan menghidupi anak-anak yatim piatu, juga mencari donatur untuk mereka.
Hal yang selalu dipertanyakan teman-temanku mengapa aku tetap saja melakukan aktivitas memulung meski kehidupanku sudah lebih baik dan sudah bisa buka usaha sendiri. Alasannya adalah, memulung membuatku lebih dekat dengan orang-orang kecil yang juga bekerja sebagai pemulung. Aku jadi sering bertemu dengan anak-anak yang memulung. Ketika kutanya, mereka tidak sekolah karena tidak punya biaya. Akhirnya aku mengajak mereka di rumah singgah yatim piatu yang kubangun bersama teman-teman. Di sana tidak hanya anak yatim piatu, tetapi anak-anak yang membutuhkan pendidikan namun tidak punya biaya juga kami tangani. Aku sudah membuktikan bahwa hidup hidup susah bukan berarti tidak bisa sekolah. Aku ingin menjadi penyambung pendidikan mereka, mengajarkan nilai-nilai kehidupan untuk mereka bisa berjuang dalam hidup ini. Aku sangat bersyukur karena aku punya ayah yang gigih pendiriannya tentang nilai pendidikan. Bagi ayah, miskin bukan penghambat untuk tidak sekolah, justru orang miskin harus sekolah untuk memperbaiki kehidupannya di masa mendatang. Dengan begitu, bangsa menjadi lebih maju.
Ayahku, Pahlawan Pendidikanku
Namaku Geri. Aku tinggal di kawasan kumuh, dekat tempat pembuangan akhir. Bau tidak sedap yang menyengat sudah jadi makanan sehari-hari, sampai aku tidak lagi peka terhadap bau itu. Kedua orang tuaku adalah tukang sapu jalan. Mereka selalu berangkat subuh dan pulang sore hari. Aku adalah anak satu-satu nya. Aku tidak punya adik atau kakak. Meskipun orang tuaku tukang sapu jalan, namun mereka selalu menjunjung tinggi nilai pendidikan. Mereka teguh untuk menyekolahkanku. Tidak pernah sekalipun aku tidak bayar uang sekolah. Ayah selalu menabungkan uangnya di bekas kaleng roti untuk membayar sekolahku. Ayah dan Ibu selalu mengajariku pentingnya ilmu dan juga disiplin. Mereka berdua tidak ingin aku bernasib sama seperti mereka. Mereka ingin aku menjadi orang hebat dan bermanfaat untuk orang lain. Kini aku duduk di bangku kelas 2 SMP.Suatu hari ibu sakit. Sehingga ibu tidak bisa membantu ayah mencari nafkah. Hanya ayah yang mendapatkan uang. Aku sudah tidak bayar uang spp selama 3 bulan karena untuk membayar spp satu bulan saja ayah tidak punya uang. Ayah harus membeli obat ibu juga makan sehari-hari. Aku tidak pernah membeli buku. Semua pelajaran kucatat dalam buku tulis yang kubuat dari bekas kalender atau kertas-kertas yang tersisa dan masih bisa digunakan dari tempat pembuangan akhir dekat rumah. Kadang-kadang juga aku merangkum buku pelajaran teman sebangku di waktu istirahat. Aku tidak pernah pergi ke kantin karena aku tidak punya uang untuk jajan. Kadang kala teman sebangku ku berbaik hati membagi makanannya denganku.
Bulan-bulan itu tampak sulit bagi keluarga kami. Ayah tampaknya sedang sedih belakangan ini. Akhirnya, aku bertekad untuk membantu ayah mendapatkan uang. Aku tidak bilang ayah jika aku memulung sepulang sekolah. Karena jika ayah tahu, aku bisa dimarahi. Begitu hebatnya ayahku. Meski kami miskin, ia tidak pernah menyuruh anakanya bekerja. Kata ayah, tugasku hanya belajar dengan sebaik-baiknya sehingga kelak bisa sukses dan tidak miskin. Hasil memulung yang kudapatkan aku setorkan kepada pengumpul dan aku bisa mendapatkan uang 20 ribu setiap harinya.
Ayah tidak curiga karena aku bilang kepadanya bahwa aku mengikuti pelajaran tambahan di sekolah hingga petang. Aku selalu sampai di rumah pukul 07.00 malam. Lalu kembali belajar mengulang pelajaran. Aku juga sangat senang karena ibuku sudah kembali sehat. Uang yang kudapat dari memulung kutabung, sehingga akhir bulan aku bisa melunasi spp ku yang sudah tidak dibayar selama 4 bulan, tambahan juga aku bisa membeli buku pelajaran di koperasi sekolah. Ayahku sempat heran mengapa aku bisa melunasi spp dan membeli buku. Ia mengira ada donatur sekolah yang berbaik hati membantuku. Kemudian aku jelaskan baik-baik kepada ayah. Ayah sempat kesal karena aku berbohong, namun di sisi lain ia juga bangga akan kerja kerasku. Sejak saat itu, ayah juga turut memulung bersamaku.
Selama bertahun-tahun ayahku dan aku memulung untuk kehidupan kami juga sekolahku. Kini aku sudah menyelesaikan studi strata 1. Aku sudah menjadi sarjana. Kini aku mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas terkemuka di Indonesia untuk melanjutkan studi S2 di bidang bisnis dan manajemen. Aku juga berhasil mengikuti pertukaran pelajar dan konferensi pemuda berbasis kepemimpinan di luar negeri. Seandainya saja ayah masih hidup. Tentu ia akan menangis haru melihat pencapaianku. Ya, ayah meninggal tidak lama setelah aku wisuda S1. Beliau terkena penyakit paru-paru basah. Kini aku dan ibu hanya berdua. Kami pindah dari kawasan tempat pembuangan akhir. Aku dan ibu menyewa rumah kecil di dekat kampus. Ibu yang suka memasak akhirnya berjualan kue di dekat kampus. Hingga aku menempuh studi S2, aku tetap memulung di sore hari dan membuka usaha kecil-kecilan lain bersama teman-temanku. Aku juga punya komunitas rumah yatim piatu dimana aku dan teman-teman mengajar dan menghidupi anak-anak yatim piatu, juga mencari donatur untuk mereka.
Hal yang selalu dipertanyakan teman-temanku mengapa aku tetap saja melakukan aktivitas memulung meski kehidupanku sudah lebih baik dan sudah bisa buka usaha sendiri. Alasannya adalah, memulung membuatku lebih dekat dengan orang-orang kecil yang juga bekerja sebagai pemulung. Aku jadi sering bertemu dengan anak-anak yang memulung. Ketika kutanya, mereka tidak sekolah karena tidak punya biaya. Akhirnya aku mengajak mereka di rumah singgah yatim piatu yang kubangun bersama teman-teman. Di sana tidak hanya anak yatim piatu, tetapi anak-anak yang membutuhkan pendidikan namun tidak punya biaya juga kami tangani. Aku sudah membuktikan bahwa hidup hidup susah bukan berarti tidak bisa sekolah. Aku ingin menjadi penyambung pendidikan mereka, mengajarkan nilai-nilai kehidupan untuk mereka bisa berjuang dalam hidup ini. Aku sangat bersyukur karena aku punya ayah yang gigih pendiriannya tentang nilai pendidikan. Bagi ayah, miskin bukan penghambat untuk tidak sekolah, justru orang miskin harus sekolah untuk memperbaiki kehidupannya di masa mendatang. Dengan begitu, bangsa menjadi lebih maju.
Caesars Palace - Las Vegas, NV - Mapyro
ReplyDeleteFind your way around 광양 출장마사지 the casinos, as 의정부 출장마사지 well as 김제 출장안마 other popular attractions like the Wynn 동두천 출장안마 Hotel Casino, as well as other popular attractions like Miracle Mile Shops, 진주 출장마사지